Thursday, February 1, 2018

Khilafah, Masa Depan Suriah


by Ahmad Fahrur Rozi

“Pangkal dan tempat Darul Islam (khilafah) adalah Syam (Suriah).” (hadits riwayat Thabrani)

Pada Desember 2004 lalu, Dewan Intelijen AS, National Intelligence Council (NIC) merilis laporan resmi yang berjudul Mapping the Global Future. Di dalamnya diprediksi empat skenario dunia tahun 2020. Pertama, Davos World, digambarkan 15 tahun ke depan Tiongkok dan India menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. Kedua, Pax Americana, dunia masih dipimpin AS. Ketiga, A New Caliphate, kembali berdirinya Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada nilai-nilai global Barat. Keempat, Cycle of Fear, munculnya lingkaran ketakutan.

Terkait dengan A New Caliphate, tidak sedikit yang menganggap laporan di poin ketiga itu sebagai sesuatu yang utopis (angan-angan belaka). Analis politik dan strategi Amerika Fred Gedrich yang menulis Syria on Track to Become Islamic State dalam The Washington Times (Jumat, 4/1/2013) bisa menjadi mata rantai A New Caliphate hasil rilis NIC 2004. Goal setting artikel tersebut adalah peringatan keras dari arah revolusi Suriah yang menuju berdirinya khilafah dan akan mengakibatkan lemahnya keamanan regional dan kepentingan AS di Timur Tengah. Artikel tersebut disertai gambar dengan background foto presiden Suriah Basyar Assad yang ditutupi kata khilafah dalam bahasa Inggris.

Terkait dengan krisis Suriah, sebagaimana dilansir situs Guardian.co.uk, Presiden Obama menyampaikan peringatan tentang bahaya Suriah pasca jatuhnya Assad yang digambarkannya sebagai skenario mimpi buruk, lembaga-lembaga negara hancur, negara terpecah ke dalam sektarianisme, dan kelompok Islam mengisi kesenjangan. Sikap Prancis kurang lebih sama. Saat menjadi tuan rumah pertemuan Koalisi Nasional Suriah (SNC) dengan 50 negara beberapa waktu lalu, Prancis mendesak Barat untuk membantu SNC. Tujuannya, mempercepat terbentuknya pemerintahan transisi yang pro-Barat dan mencegah lahirnya revolusi Islam. Pertanyaannya, akankah A New Caliphate "menetas" dalam revolusi di bumi Syam?

Suriah berbeda secara mendasar dengan Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman. Bila revolusi Arab Spring di tempat lain sebatas mengubah rezim, mayoritas rakyat Sunni Suriah menghendaki syariah Islam sebagai konstitusi pasca-Assad.

Bisa dilihat, pada Jumat, 22 Februari 2013 yang lalu, aksi massa masif terjadi di seluruh Suriah. Di Aleppo, ribuan orang berkumpul, baik tua, muda, maupun anak-anak meninggikan panji Rasulullah SAW sambil menyanyikan nasyid “Revolusi Kami, Revolusi Islam”. Beberapa warga membawa poster yang bertulisan “Satu Umat, Satu Bendera, Satu Negara”. Tidak ada panji yang ditinggikan selain panji royatul 'uqab Rasulullah SAW berwarna hitam bertulisanckalimah tauhid: “Laa ilaaha illallah Muhammadur rasulullah”. Pada hari yang sama, potret serupa terjadi di Douma, Ma'arit Mishriyin, Bezah, Binnisyi,Yabrud, Salqin, Killiy, Idlib, Tareeq Halab, Homs, Horan, dan beberapa wilayah lain.

Benih khilafah ini juga tampak dari qosam (sumpah) beberapa brigade mujahidin untuk mengadopsi konsep negara Islam yang disodorkan Hizbut Tahrir. Seperti yang mereka lakukan di Aleppo Barat, 12 Desember 2012. Brigade-brigade itu meliputi Brigade Anshar Al Syaria, Brigade Rijalullah, Brigade Abdullah Ibnu El Zubair, Brigade Abdul Razaq, dan Brigade Suyyuf ArRahman. Mereka bersatu membentuk brigade koalisi Anshar Al Khilafah (pendukung khilafah). Dalam potongan qosam itu juga tertulis: waan laa nardha bi ghairi nidham al khilafah (...dan tidak akan ridha dengan sistem selain khilafah). Revolusi ideologis Islam inilah salah satu hakikat yang terjadi di Suriah. Sesuatu yang sangat tidak dikehendaki Amerika dan sekutunya.

Ini pula yang menjadikan krisis Suriah cenderung berlarut. Amerika dan sekutunya, yang awalnya mendukung kelompok oposisi untuk menggulingkan rezim Assad, sedikit demi sedikit berbalik sikap. Bagi Amerika, oposisi yang harus dibantu hanyalah yang mendukung kepentingannya. Bukan kalangan mujahidin dan rakyat Suriah yang menghendaki perubahan sistem, perubahan ideologi. Karena itu, mempertahankan Assad untuk tetap berkuasa menjadi misi "terselubung"Amerika, juga sekutunya.

Situs Wikileaks telah membocorkan dokumen yang mengungkap dukungan AS kepada rezim Assad senilai "lima miliar dolar" untuk menghadapi oposisi (mujahidin). Los Angeles Times (16/3/2013) juga memberitakan, CIA menarget para pejuang Suriah dengan pesawat tak berawak. Amerika khawatir, setelah Assad digulingkan, kelompok Islam merebut tampuk kekuasaan di Suriah dan mendirikan negara baru yang bertentangan dengan demokrasi ala Amerika.

Bara krisis Suriah hari ini memang masih kecil. Tetapi, ketika khilafah betul-betul terlahir dari rahim bumi Syam, nyalanya bisa merubah peta dunia.

Sebagaimana dilansir New York Post yang mengutip Henry Kissinger, mantan Menlu AS, dalam sepuluh tahun kedepan (tahun 2022), tidak akan ada lagi Israel. Yang demikian juga sangat mungkin terjadi. Itu sesuatu yang tidak dikehendaki Amerika dan negara-negara Barat lainnya. Karena itu, tumbangnya Assad, bagi Amerika menjadi sesuatu yang menakutkan!

* di adaptasi dari analisis ust. Minhad Astoriq; Koran Jawa Post, 3 Mei 2013

------------------------------
-----------------------------------

Basyârah (Kabar Gembira) Akan Tegaknya KHILAFAH ala Minhaajin Nubuwwah.
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya (mencabutnya), jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya, jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya, jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR Ahmad dan al-Bazar).

Sanad Hadits

Imam Ahmad menerimanya dari Sulaiman bin Dawud ath-Thuyalisi dari Dawud bin Ibrahim al-Wasithi dari Habib bin Salim dari an-Nu‘man bin Basyir. Ia berkata:
Kami sedang duduk di masjid bersama Rasulullah. Basyir adalah orang yang hati-hati dalam berbicara. Lalu datang Abu Tsa‘labah al-Khusyani. Ia berkata, “Wahai Basyir bin Saad, apakah engkau hapal hadits Rasulullah tentang para pemimpin?”

Hudzaifah berkata, “Aku hapal khutbah beliau."

Lalu Abu Tsa‘labah duduk dan Hudzaifah berkata, “Rasululah saw. bersabda: (sesuai dengan matan hadis di atas).”

Al-Bazzar menerimanya dari al-Walid bin Amru bin Sikin dari Ya‘qub bin Ishaq al-Hadhrami dari Ibrahim bin Dawud dari Habib bin Salim dari an-Nu‘man bin Basyir. Ia bercerita bahwa ia sedang di masjid bersama bapaknya, Basyir bin Saad. Lalu datang Abu Tsa‘labah al-Khusyani. Kemudian terjadilah dialog seperti di atas.

Al-Haytsami berkomentar, ”Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Tarjamah an-Nu’mân, juga al-Bazzar secara persis, ath-Thabrani secara sebagiannya di dalam al-Awsath, dan para perawinya tsiqah. Ibn Rajab al-Hanbali juga menukil riwayat Ahmad ini.

Makna dan Faedah

Hadis ini memberitahukan lima periode perjalanan kaum Muslim sejak masa kenabian. Periode pertama adalah periode kenabian.

Periode kedua adalah periode Khilafah yang mengikuti manhaj (metoda) kenabian. Para ulama sepakat bahwa periode Khilafah Rasyidah adalah periode Khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian. Menurut sebagian ulama, periode ini adalah periode Khulafar Rasyidin sampai periode Khilafah al-Hasan bin Ali. Khilafah Umar bin Abdul Aziz oleh sebagian ulama juga dikategorikan Khilafah Rasyidah sehingga beliau juga dijuluki Khulafaur Rasyidin.

Periode ketiga adalah periode pemerintahan dan kekuasaan yang zalim. Lafal mulk bisa berarti kerajaan, bisa juga al-hukm wa as-sulthân (pemerintahan dan kekuasaan). Lafal mulk dalam hadis ini kurang tepat jika dimaknai kerajaan sebagai sebuah bentuk pemerintahan. Sebab, setelah Khulafaur Rasyidin, bentuk pemerintahan kaum Muslim tidak berubah menjadi kerajaan, tetapi tetap Khilafah. Kepala negara tetap seorang khalifah dan tidak pernah berubah menjadi raja. Ini adalah fakta yang telah disepakati para ulama. As-Suyuthi dalam Tarîkh al-Khulafâ’ berkata, “Aku hanya menyebutkan khalifah yang telah disepakati keabsahan imâmah-nya dan keabsahan akad baiatnya.”

Secara faktual, Khilafah terus berlanjut sampai diruntuhkan oleh penjajah Barat tahun 1924 M. Namun, juga disepakati, selama rentang waktu tersebut terjadi penyimpangan dan keburukan penerapan Islam di sana-sini. Jadi, periode tersebut adalah periode pemerintahan dan kekuasaan yang di dalamnya terjadi kazaliman, yaitu penyimpangan dan keburukan penerapan sistem dalam beberapa hal.

Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan dan kekuasaan jabbariyah (diktator). Dalam riwayat Abu Tsa‘labah al-Khusyani dari Muadz bin Jabal dan Abu Ubaidah, periode ini digambarkan sebagai periode pemerintahan dan kekuasaan yang sewenang-wenang, durhaka, diktator, dan melampaui batas. Gambaran demikian adalah gambaran pemerintahan dan kekuasaan yang bukan Islam. Periode pasca runtuhnya Khilafah saat ini tampaknya sesuai dengan gambaran tersebut.

Periode terakhir adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ini merupakan basyârah (berita gembira) akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Jika riwayat ini digabung dengan riwayat lain yang semakna, yaitu riwayat akan masuknya Islam di setiap rumah, hadis al-waraq al-mu’allaq, hadis Khilafah turun di bumi al-Quds, hadis mengenai Dâr al-Islâm kaum Mukmin berpusat di Syam, hadis ‘adl wa al-jur, hadis hijrah setelah hijrah, hadis al-ghuraba’, hadis al-mahdi, dan hadits akan ditaklukkannya Roma, maka makna tersebut bahkan bisa sampai pada tingkat mutawatir.

Basyârah ini selayaknya memacu semangat kita untuk terus berjuang demi tegaknya Khilafah, karena kita ingin mendapat kemuliaan, yakni turut menjadi aktor bagi terlaksananya janji Allah tersebut. Allâhummarzuqnâ dawlah Khilâfah Râsyidah.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb